Tuesday, 20 October 2015

BAB 2: Terusir (Novel Mencari Hujan)





Pagi ini, pagi di tanggal 18 September 2007. Entah aku merasakan hal lain dari pagi-pagi sebelumnya. Ada semacam firasat yang menyusup dalam relung hati, membuatku gelisah. Aku tidak tahu apa itu, yang jelas pagi ini hatiku tidak tenang. Aku terbangun lebih dari 7 kali di malam tadi. Entah juga karena apa. Padahal aku juga tidak bermimpi buruk.


Gerimis seakan menambahi bumbu dalam kegelisahanku. Mengaduk-aduk hati yang gulana. Larut bersama desis angin yang masuk melalui sela-sela ventilasi, merasuk menusuk pori-pori. Aku menekurinya dari balik kaca kamar tidurku. Mencoba mencari kanvas dari pucuk-pucuk rumput untuk melukiskan kegelisahanku. Aku ingin berbagi dengan mereka, tentang kegelisahan yang tak jelas karena apa. Aku tak merasa nyaman di pagi ini.


“Mas tidak berangkat kerja?” suara istriku sedikit mengagetkanku. Ia membawakan secangkir kopi hangat dan meletakan di meja. Kamarku berukuran 4 meter persegi dengan tembok yang aku cat warna hijau muda. Bila masuk ke dalam kamar, sebuah lemari kayu berwarna coklat berdiri di depan. Berdampingan dengan rak buku yang penuh dengan koleksi novel istriku. Di atasnya, terpaku sebuah jam dinding bulat warna biru. Sebuah bed tergeletak di lantai tanpa dipan yang menyangganya. Aku dan istriku sepakat untuk tidur lesehan, menggelar bed langsung di lantai dengan beralaskan karpet warna coklat tua. “Biar seperti orang Jepang,” begitu yang selalu istriku bilang.


Berhadapan dengan jendela, aku meletakan sebuah meja kecil tempatku membaca atau lembur pekerjaan. Jika duduk di sana, pemandangan dari kaca jendela langsung terpampang di depan mata. Sebuah taman kecil dengan bunga-bunga mawar yang terjejer. Dihimpit pohon mangga yang meranggas dan belum berbuah.


“Berangkat Nda, sebentar lagi,” aku menjawabnya sambil melirik jam dinding yang terpaku dan menunjuk angka 7.16. Masih cukup pagi mengingat jam masuk kerja di kantorku pukul 08.00. Sementara lama perjalanan dari rumah ke kantor hanya 10 menit. Aku lebih suka memanggil istriku dengan sebutan dinda. Aku merasa lebih romantis dan asyik dengan sebutan itu, dan ia lebih suka memanggilku mas.


Aku mendekatinya, mengelus perutnya yang mulai membuncit. Hari ini tepat 2 minggu ia mengandung buah cintaku, setelah 2 tahun menunggu kehadirannya. Ingin aku berbagi kegelisahanku di pagi ini, tapi aku tak ingin membuat ia khawatir kepadaku. Tapi bukan istriku kalau dia tidak bisa menebak apa yang terjadi denganku.


“Apa sih yang mas pikirkan, ada masalah di kantor? Atau ada yang Nda buat dan kurang berkenan di hati mas?” Istriku mencoba memaksaku untuk bercerita kepadanya.


“Nggak kok Nda, Mas nggak kenapa-kenapa. Mungkin karena hujan, pagi-pagi kok sudah hujan. Kalau gerimis seperti ini biasanya lama,” aku berusaha mengalihkan pembicaraan.


“Oh, karena hujan to mas. Hujan kan juga rejeki dari Allah, jadi tetap wajib disyukuri. Bukan malah menjadikan penghalang untuk beraktifitas, apalagi menjalankan kewajiban mencari rejeki untuk menghidupi keluarga. Ingat, bentar lagi kita punya dedek,”


Aku tersenyum kepadanya, menatap matanya yang bening dan terlihat aku di sana. Mengelus-elus perutnya lagi. Aku jongkok di depannya, ku bisikan sesuatu di perutnya.


“Dedek yang di sana, jangan nakal ya. Jangan buat Bunda mual dan muntah lagi. Tumbuhlah dengan sehat, kami tidak sabar menunggu dedek lahir,”


Istriku tersenyum dan mengelus-elus kepalaku. Memijat perlahan dengan penuh kasih sayang.


“Iya Yanda, dedek nggak bakal nakal. Sekarang Yanda berangkat kerja, biar dedek bisa dibelikan susu. Dan jangan lupa kopi yang Bunda buatkan untuk Yanda diminum,” istriku berujar mewakili buah cinta kami.


Aku tertawa, hilang sementara kegelisahan dari dalam dada. Aku segera meminum kopi yang mulai dingin, tetapi tetap terasa nikmat karena dicampur ramuan khusus; cinta. Kuteguk habis tanpa sisa. Aku mengambil jaket dari atas bed, mengenakannya. Menggendong ransel yang terasa berat oleh sebuah laptop dan dua jurnal tebal tentang Petunjuk Teknis Operasional. Mengambil kunci motor dari atas rak buku, bersiap berangkat ke kantor.


“Ya sudah, ayah berangkat dulu ya Dek. Sampai ketemu nanti. Nitip pesen jagain Bunda,”


“Iya, pasti itu. Yanda jangan lupa pakai mantel. Hujannya belum reda,” tentu saja istriku yang menjawab.


“Siap Nda, Assalamu’alaikum..” Aku berpamitan sambil menyodorkan tanganku, disambut kecupan hangat. Aku membalas mengecup keningnya.


“Wa’alaikumsalam, hati-hati mas,”


Kukeluarkan Beat putihku dari garasi, mengambil mantel yang ada di bagasi bawah jok dan mengenakannya. Tidak lupa aku mengenakan helm INK centro warna kuning emas untuk menutupi kepalaku. Pelajaran berharga: bila berkendara menggunakan sepeda motor, kenakanlah helm. Tentu saja untuk safety bagi penggunanya.


“Bismillah..” ku terobos hujan demi kewajiban.


***


Aku bekerja di salah satu Program Pemerintah yang berkecimpung dalam dunia pemberdayaan masyarakat. Mengelola dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dalam bentuk kegiatan sarana prasarana, pelatihan, peningkatan kapasitas hidup, kesehatan, pendidikan dan pinjaman modal untuk usaha produktif. Tentu saja program ini berorientasi pada rakyat miskin. Selain dana BLM, kami juga mendapatkan alokasi DOK (Dana Operasional Kegiatan) untuk RAB (Rencana Anggaran Biaya) selama satu tahun. Sama dengan dana BLM yang didasarkan pada RAB 1 tahun.


Lebih menariknya lagi, untuk penggalian gagasan benar-benar dilakukan dari masyarakat. Mereka dikumpulkan dalam agenda Musdus (Musyawarah Dusun) untuk mencari sarana prasarana apa yang mereka butuhkan. Berembuk dan bermusyawarah tentang pelatihan apa yang mereka butuhkan, apakah mereka butuh akses kesehatan yang lebih baik, atau sarana pendidikan yang terpenuhi. Dan bagi mereka yang mempunyai usaha produktif, berapa besar modal yang mereka butuhkan untuk mengembangkan usahanya.


Dari Musyawarah Dusun ini, hasilnya kemudian di bawa dalam Musdes (Musyawarah Desa). Hasil ini akan dirumuskan dalam RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) yang disusun dan dibukukan untuk rencana pembangunan 5 tahun ke depan. Dan di tahun selanjutnya, Musdus dan Musdes hanya mereview dokumen RPJMDes untuk dibuatkan proposal.


Hasil dari dokumen RPJMDes kemudian dikonsultasikan di kantor kecamatan, untuk dikorensi dan dikirim ke tingkat kabupaten. Dokumen RPJMDes ini juga sebagai bahan diadakannya MusrenbangKec (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan) untuk dibahas. Dengan demikian, pembangunan desa sudah terencana untuk 5 tahun ke depan. Kabupaten juga mempunyai data potensi desa yang pasti akan memudahkan pembangunan. Sangat mengena bukan, karena berorientasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.


Aku duduk terpaku menatap neraca microfinance yang merengek-rengek di Microsoft Excel laptop Samsungku. Meminta data link dari Laporan Operasional dan rekening bank. Menginputnya dengan jendela yang sama-sama dibuka, tentu saja dalam file yang sama; Microsoft excel.


='D:\Laporan\Keuangan\Pembukuan\[1. Buku Bank.xls]buku bank Operasional'!$U$67. Enter… Muncul angka Rp. 10.891.320,- di kolom Saldo Bank Operasional Neraca Microfinance. Kulihat saldo total Aktiva, Rp. 10.397.581.324,- dan kutarik ke saldo total Pasiva, muncul angka Rp. 10.397.581.324,- angka yang sama. Aku mencoba memformulakannya lagi, 10.397.581.324 – 10.387.581.324 = 0. Balance, berarti benar. Tidak ada selisih di antara pasiva dan aktiva. Aku melepaskan kacamataku, menarik nafas dalam-dalam sambil meregangkan otot.


Lagu Mahadewi muncul dari ponselku, irama merdu dari band Padi yang dilantunkan oleh Fadli ini memberitahu bahwa istriku menelpon. Aku buru-buru mengangkatnya.


“Assalamu’alaikum Nda, ada apa,? Hening, kudengarkan suara hela nafas panjang dan isak tangis.


Aku terduduk lemas mendengar isak tangis istriku dari seberang telpon. Memintaku untuk pulang lebih awal dari kantor. Hanya itu yang ia minta dari balik telponnya.


“Mas segera pulang, Nda mohon,”


Pikiranku berlari ke mana-mana. Bersua dengan firasat tadi malam yang terus menghantuiku sampai pagi. Berfikir tentang sesuatu hal yang sangat tidak mengenakan. Jangan-jangan Dinda kenapa-napa. Jangan-jangan Dedek kenapa-napa. Mungkin hal buruk terjadi pada keduanya. Atau ada hal yang lebih mengkhawatirkan lagi. Aku cemas sekali. Kucoba tepis pikiran-pikiran jahat yang berseliweran di kepala, tetapi malah semakin menjadi. Aku ingin cepat pulang.


Segera kukemasi tasku, hingga laptop kututup saja tanpa dimatikan terlebih dahulu. Buru-buru aku menghadap pimpinan untuk meminta ijin pulang lebih awal. Kusampaikan alasanku meminta ijin pulang. Atasan mengerti dan memperbolehkanku untuk pulang lebih awal. Kuucapkan terimakasih kepadanya dan langsung menghambur pulang.


Kukebut si putih menyusuri jalan pulang. Hatiku benar-benar tidak tenang, ingin segera sampai di rumah. Aku sampai dimaki oleh sopir angkot yang hampir aku tabrak. Aku tak dengar ia marah-marah, karena pada saat itu juga aku tarik gas motorku lebih dalam. Yang kulihat dari balik spion, ia mengacungkan tinjunya kepadaku. “Maaf pak,” gumamku dalam hati.


***


Ku ketuk pintu kamar sambil mengucapkan salam. Tak lama, terdengar suara istriku lirih menjawab salam sambil membukakan pintu. Segera aku masuk dan kupeluk istriku yang masih berderaikan air mata. Mukanya pucat, isaknya juga sudah habis. Aku juga belum bisa berkata apa-apa, membiarkan ia menuntaskan tangisnya di pelukanku.


Empat menit aku membiarkan ia melampiaskan sedihnya. Aku biarkan air matanya membasahi baju kantorku. Perlahan ia mulai mengendorkan pelukannya kepadaku, menatapku dengan mata yang sembab. Aku baru bisa berkata, menanyakannya kenapa.


“Kenapa Nda, cerita sama mas,” aku bertanya lembut sambil mengajaknya duduk di bed. Mengusap airmatanya yang masih basah di pipi.


“Aku merasa sudah tidak nyaman mas tinggal di rumah ini,” jawabnya pendek.


“Kenapa sayang? Ada yang salah dengan Mas sehingga Nda merasa tidak nyaman di rumah?” aku mencoba untuk mengetahui alasannya.


Ia hanya menggeleng perlahan. Airmatanya mengalir lagi di pipinya. Kali ini aku mendengar ia terisak dan sesenggukan. Aku jadi semakin bingung.


“Sayang, cerita dong sama Mas. Sedihnya jangan ditampung sendiri. Mari kita bagi permasalahan ini dan kita selesaikan berdua,” aku masih mencoba untuk membujuknya agar ia mau bercerita.

Ia masih terisak perlahan, menyeka air mata dari pipinya.

Load comments