Tuesday, 20 October 2015

Mantu dan Mertua (Mereka Berbeda)






Menikah, ritual sakral yang telah aku lalui dua puluh bulan silam. Meminang gadis Bone yang cantik rupawan, yang membuat hatiku luluh saat pandangan pertama, yang menjadikan cinta ini miliknya seutuhnya. Ah, hidup ini menjadi lebih berwarna akan hadirnya. Memiliki semua tentangnya, dan tentu saja orangtuanya yang kini menjadi mertua bagiku.


Ayah dari istriku berbeda. Dia bukanlah mertua yang selalu mendikte menantunya. Bukan mertua yang sering bercengkrama di beranda sambil beradu perang strategi papan catur. Berteriak ‘skak’ sambil menimang anak catur atau menekan-nekan kepalanya saat pasukannya porak poranda.


Ayah dari istriku tidak seperti mertuanya Andi yang sering marah-marah karena hal-hal sepele. Marah ketika kopi yang disajikan kurang manis atau terlalu pahit. Marah ketika korannya telat datang meskipun hujan. Marah pada Andi yang selama ini dianggapnya menumpang dan selalu menjadi beban tambahan.


Ayah mertuaku tidak seperti ayah mertuanya Mbak Menik. Mertua yang telah ditinggal istrinya beberapa tahun silam. Tetapi matanya nanar ketika melihat Mbak Menik menyusui si Amel anaknya. Hingga suatu saat, ia hampir memperkosa menantunya sendiri. Untung saja Mas Fajar, anak laki-lakinya yang menjadi suami Mbak Menik, pulang lebih awal dari tempatnya bekerja.


Begitu juga dengan ibu mertuaku. Ibu mertua yang tak pernah membicarakan kejelekanku pada tetangga. Mengolok-olokku, ketika jatah rupiah pada istriku tak mencukupi. Ketika dapur keluargaku tak mengepul, atau ketika lebaran datang dan aku tak bisa memberikannya kebaya serta sepeser uang.


Ibu mertuaku tak pernah menuntutku untuk jadi orang yang begini dan begitu. Tak pernah mempermasalahkanku yang masih kuliah. Tak pernah menganggapku sebagai anak ingusan yang masih sekolah.


***


Mereka, ayah dan ibu mertuaku. Mereka yang tak pernah menatapku ketika kami bicara. Mereka yang berbeda.


***


Aku, menantu bagi mereka. Menantu yang juga tak pernah menatap mereka ketika kami berbicara. Aku yang berbeda.


***


Mereka, yang telah menyematkan gelar mantu di dadaku. Mempercayakan putrinya untuk mendampingi hidupku. Merelakan mereka untuk menjadi mertua bagiku, merelakan putrinya untuk jauh dari gapainya demi bersanding denganku. Mertua yang mengajarkanku bijaksana, sabar dan tegar dalam memecah hambar kehidupan.


Meskipun kami tak pernah bertatap saat kami bercakap, bukan kebencian yang melandasinya. Tapi jarak dan ruang yang memisahkan. Yang memaksa kami berbicara melalui udara, menyusun sinyal-sinyal dari ponsel kami. Menghubungkan Jawa dan Sumatra dalam hitungan detik. Menjadikan kami berbeda.


Ayah, Ibu... Segala kerinduan ini bersemi di dalam dada. Memenuhi sepanjang pesisir pantai, menyeberangi selat Sunda hingga hadir di pangkuanmu. Dan kupinta pada Bijaksana, agar kita cepat bertemu. Mantu, mertua.

***







#Terbit bersama Antologi "Aku dan Mertua"



Baca: Dunia Parenting: Anak sangat membutuhkan peran orang tua

Load comments