Hujan masih turun satu-satu, membasahi baja hitam yang berbaring berpasangan, berderet deret dan bergandengan berjajar. Pun atap stasiun yang mengalirkan rintik-rintik itu menjadi deras. Menetes, melubangi lantai semen yang terkoyak di sana-sini. Papan nama yang bertuliskan ‘Lempuyangan’ yang sudah memudar catnya membeku dan basah kuyup. Bahkan huruf L sudah tak tertulis dan hilang dari papan. Tertulis empuyangan, yang membuatku tersenyum getir dan ngilu.
Stasiun Lempuyangan hanya terletak 1 km sebelah timur dari stasiun utama Yogyakarta; Stasiun Tugu. Stasiun dengan rel yang membujur dari barat ke timur ini melayani pemberhentian semua kereta api ekonomi yang melewati Yogyakarta. Jam reservasi mulai 07.30 hingga pukul 00.00 tengah malam. Di dekat stasiun Lempuyangan, terdapat rel yang menuju Balai Yasa Yogyakarta dengan keunikan melewati perkampungan dan berbaur dengan gang-gangnya. Balai Yasa Yogyakarta ini adalah bengkel kereta api terbesar di Jawa.
Peron stasiun juga terlihat masih sepi. Hanya beberapa orang yang duduk sambil menunggu kereta datang. Ku tengok jam dinding usang yang terpaku di tembok peron, menunjuk angka 07.14. Pagi yang basah, dengan rinai hujan yang belum juga reda. Tidak peduli akan wanita renta yang menjajakan sarapan di stasiun, tidak peduli pada tukang becak yang rela bersua dingin demi mendapatkan penumpang. Terkesan pagi yang jahat, dingin yang kejam.
“Monggo den, ngersaaken sego pecel mboten?” seorang wanita yang mulai renta menawarkan jajanannya kepadaku. Usianya mungkin lebih dari 60 tahun, bahkan lebih dari 70 tahun. Pakaiannya sederhana sekali. Mengenakan tapeh batik lusuh warna coklat bermotif bunga. Sekilas kukenali bahwa itu adalah batik Jogja dari motif bunganya. Motif bunga melati yang saling sambung, motif batik parangkusumo. Sementara ia membalut badannya dengan baju kebaya dengan warna sepadan. Rambut yang lebih banyak putih dibandingkan dengan yang hitam ia sanggul ke belakang.
“Nggih Mbok, setunggal mawon. Kalian wonten punopo kemawon?” aku mengangguk dan bertanya kepadanya.
“Wonten pecel, kluban urap, tempe goreng kalian tahu bacem den. Oh, kalian puniko, teri goreng sekalian sambelipun. Monggo.” Wanita itu tersenyum sambil meletakan dagangannya. Membongkar isi tenggok yang sejak tadi ia gendong berkeliling peron. Mengeluarkan bungkus-bungkus plastik dan beberapa piring bersih. Ia kemudian membuka termos nasi yang ditentengnya. Menyentong nasi yang masih mengepul ke dalam piring.
“Kalian punopo meniko den?”
Aku melongok ke dalam isi gendongannya sambil tersenyum. Membuka beberapa plastik yang telah dikeluarkan dari tenggok.
“Kalian pecel mawon Mbok. Diparingi tempe, teri goreng kalian sambelipun nggih. “ aku membalas senyumnya yang sejak tadi tersungging dari wajahnya yang berkerut-kerut. Melukiskan keteguhan dan keikhlasannya menjalani hidup ini. Hati kecilku berteriak.
Aku menghabiskan sarapanku dengan lahap. Menikmati nasi pecel, tempe goreng, teri goreng dan sambal terinya yang super enak. Lebih enak dari rumah-rumah makan jungfood. Jauh lebih murah dan tanpa bahan-bahan kimia yang neko-neko. Jauh lebih sehat, tetapi dipandang sebelah mata.
“Mbok, bungkus setunggal malih nggih. Kalian kluban urap, tahu baceme kalih, tempe gorenge kalih, teri lengkap kalian sambelipun.” Aku nyengir sambil menatapnya yang masih saja tersenyum kepadaku.
“Nggih den. Pedes punopo mboten puniko?”
“Sedengan mawon Mbok, ampun pedes-pedes.”
Kulihat wanita penjaja makanan ini membungkus nasi pesananku dengan gesit dan cekatan. Menyobek daun pisang dan mengelapnya dengan lap yang bersih. Menyentong nasi dan menuangkan beberapa di atasnya. Meracik kluban urap dan membubuhkan sambal kelapa yang membuatku merasa lapar lagi.
“Sampun dangu sadeyan wonten stasiun Mbok?” aku mencoba bertanya untuk mengetahui sedikit tentang wanita ini.
“Kirang langkung sampun gangsal tahun den. Damel nyekapi kebutuhan wonten ndalem.” Wanita itu masih saja tersenyum, seperti tak ada habisnya.
“Dangu nggih Mbok. Mboten wonten ingkang ngrencangi?”
“Mboten wonten den. Kulo tinggal namung kalian putu kulo setunggal. Sakmeniko tasih sekolah ting SD.” Mimik mukanya berubah, aku jadi menyesal menanyakan hal itu.
“Puniko den, sampun. Monggo.” Wanita itu menyulurkan plastik kresek warna hitam yang di dalamnya berisi nasi pesananku. Aku menerimanya dengan tersenyum.
“Sedanten pinten Mbok?” aku menanyakan harga semua makanan yang aku sebutkan satu persatu. Merogoh dompet dari tas carier warna hitamku.
“Sangangewu den, sedantenipun.” Mbok tersebut menyebutkan harga makanan yang harus aku bayar.
“Mboten klentu Mbok?” aku menanyakan kalau takut salah hitung. Murah banget.
Mbok penjual makanan tersebut malah sedikit kaget. Menghitung ulang harga makanan yang aku makan dan yang aku tenteng di tangan.
“Mboten den, lha pripun? Kelarangen nggih?” Mbok kaget takut kalau harga makanan yang aku beli terlalu mahal.
“Mboten Mbok, malah murah sanget.” Aku memberikan uang lima puluh ribu kepadanya.
“Engkang pas mawon Den, mboten wonten susukipun.” Ia menyodorkan uang lima puluh ribu kembali kepadaku. Meminta aku untuk membayar dengan uang pas karena tidak ada kembaliannya.
“Sampun Mbok, kagem Simbok kemawon.” Aku bermaksud untuk tidak meminta uang kembaliannya.
“Mboten Den, mboten usah.” Wanita itu berusaha menolak menerima sedikit pemberianku.
Ulu hatiku tertohok mendengar perkataannya. Melihat kesulitan hidupnya, tetapi masih berusaha untuk tidak menerima bantuan dari orang lain. Melihat pribadi yang teguh dan ikhlas menjalani kehidupan ini. Berbeda dengan manusia muda jaman sekarang. Yang banyak mengeluhkan kehidupannya yang ia anggap sulit. Tubuh sehat dan tenaga masih kuat, tetapi meminta-minta di pinggir jalan. Mengamen dengan modal alat musik seadanya dan suara pas-pasan. Berbanding terbalik dengan wanita yang ada di hadapanku sekarang. Aku juga malu dengan perkataannya. Karena kadang aku masih banyak mengeluh dalam menghadapi permasalahan hidup.
“Dipun tampi kemawon Mbok, mboten wonten sepinten kok. Kulo nggih mboten gadah arto ingkang pas.” Aku beralasan agar ia mau menerima sedikit permberianku.
“Walah, matursuwun sanget Den. Mugi Allah mbales puniko kanti rejeki ingkang langkung katah. Mugi dados amalipun panjenengan.” Wanita itu berterimakasih sambil berkaca-kaca. Berulangkali ia mengucapkan hamdallah, tanda syukur kepada Allah.
Hatiku semakin trenyuh, kecil di hadapan wanita perkasa itu. Melihatnya selalu bersyukur dengan apapun itu, apapun yang mesti ia hadapi. Tetap semangat menjalani hidup dalam kesusahan. Bukankah dibalik kesusahan ada kemudahan?
Aku kembali duduk di peron stasiun, melihat wanita tadi yang membenahi dagangannya. Memasukan bungkusan-bungkusan plastik ke dalam tenggok, kemudian menggendongnya. Menenteng tremos nasi sambil berjalan. Menebar senyum sambil menawarkan dagangannya. Ku lihat ia mendekati seorang ibu-ibu yang melambaikan tangan kepadanya. Menurunkan tenggok yang ia gendong, membuka dan mengeluarkan semua isinya. Menuang nasi ke dalam piring dari dalam termosnya, masih saja dengan senyum yang tiada habis dari tadi.
Tiittt…. Tiittt….. gejessss… gejeesst…..
Suara peluit dan kereta mengagetkanku yang mulai mengantuk karena kekenyangan. Aku mengucek-ucek mataku, mengusir kantuk yang mulai tumbuh di pelopak mata. Mengerjap-ngerjap sesaat, hingga fokus kembali aku dapatkan.
Kereta Bogowonto jurusan Lempuyangan – Pasar Senen Jakarta, mulai menampakan batang hidungnya yang kehitaman. Menjerit-jerit riang memamerkan lengkingannya yang menyayat. Seperti diperintah dengan aba-aba suara peluit yang di tiup oleh penjaga peron. Badannya sambung-menyambung, mengular di atas bantalan rel. Berwarna kuning kusam bergantian dengan warna putih yang belepotan, menandakan gerbong yang telah cukup dimakan usia dan perlu untuk dicat ulang.
Kereta Bogowonto sebenarnya kereta yang yang dikelelola oleh Daerah Operasi V Purwokerto meskipun diperpanjang rutenya sampai Yogyakarta. Dengan demikian, kereta api ini tetap menjadi andalan penumpang untuk pergi atau pulang dari daerah V Purwokerto. Nama Bogowonto diambilkan dari nama sungai Bogowonto yang melintas di wilayah Kedu, Jawa Tengah. Kereta api ini merupakan kereta ekonomi AC pertama di Indonesia. Selain itu, kereta yang awalnya hanya diberangkatkan dari Kutoarjo pada malam hari ini menggunakan iring-iringan gerbong buatan dalam negeri; PT INKA.
Aku melangkah, menarik koperku perlahan sambil menenteng bungkusan kresek berisikan pecel yang aku pesan tadi. Menarik koper merk Polo ukuran sedang dengan warna abu-abu, koper oleh-oleh dari istriku yang pulang dari Batam.
“Mas, tak belikan koper buat pergi-pergi. Mumpung murah, harganya Cuma 50 ribu. Kalau di Jogja, harganya 100 ribu lebih lho.” Istriku tersenyum sambil menyodorkan sebuah koper yang masih terbungkus plastik.
Aku tersenyum membayangkan istriku yang selalu baik terhadapku. Selalu memperhatikan apa yang aku butuhkan, menemaniku dalam suka dan duka. Menerima aku apa adanya, dalam rupa yang tak sempurna hingga dompet yang terlalu sering tipis dibandingkan berisi lembaran rupiah.
Istriku seorang wanita tegar berdarah bugis. Berwajah cantik dengan hidung mancung dan alis yang menyabit, menyambung. Matanya teduh dan tajam seperti mata elang. Bentuk mukanya oval dengan dagu lancip menawan. Aku paling suka bila melihatnya sedang tersenyum atau tertawa, ada lesung pipit kecil yang bersemi di pipinya; manis sekali.
Tingginya 163 cm dengan tubuh yang ramping, tidak gemuk dan juga tidak kurus, pas menurutku. Rambut indahnya hanya aku yang tahu, karena ia selalu menutupinya dengan lembaran hijab yang selalu ia kenakan. Hingga ia mengidolakan sosok Oki Setiana Dewi untuk dijadikan motifator dalam hidupnya. Buktinya, ia selalu memasang gambar-gambar Oki dalam desktop background laptopnya, dalam telpon genggamnya hingga setia menjadi follower di akun twiter dan facebooknya. Lebih lagi, blognya sering ia posting dengan ulasan kekagumannya kepada sosok idolanya ini. Dan jangan salah, setiap hari ia pasti buka website dari sosok Oki Setiana Dewi.
***
Aku mulai menyeka keringat yang mulai basah dikeningku. Mengambil sapu tangan dari saku belakang celana jeans, dan mengelap mukaku perlahan. Pandanganku mengitari gerbong a02 yang aku tumpangi, memandang isinya yang cukup sesak dan membuat suasana gerah. Bau keringat mulai merebak, bercampur dengan aroma lontong opor, deadoran, parfum, bedak bayi, minyak kayu putih hingga kaos kaki. Rengekan anak kecil yang kepanasan dibalas dengan kesetiaan ibunya yang mengipas-ngipaskan selembar kertas ke arah mukanya. Aku menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, pukul 09.58. Tidak terasa sudah 2 jam 23 menit terhitung dari jam berangkat pukul 07.35 dari stasiun Lempuyangan. Kereta kelas ekonomi yang ber AC tapi mati ini melaju dengan kecepatan rendah. Merelakan waktu untuk kereta yang lebih tinggi kelasnya; kelas bisnis dan eksekutif.
Tepat di sampingku duduk seorang Bapak-bapak yang sudah cukup umur. Kira-kira setengah abad, atau mungkin juga lebih. Wajahnya bulat, dengan kumis tebal menghiasi bawah hidungnya. Ia mengenakan kacamata. Bajunya kotak-kotak warna biru tua, dipadu dengan celana cotton warna hitam dan sepatu warna sepadan. Saat aku tanya, namanya adalah Pak Samsudin. Dan hampir benar tebakanku, umurnya 50 tahun kurang setahun. Ia hendak pergi ke Gombong untuk menghadiri pernikahan keponakannya. Sementara di depanku, duduk dua orang pemuda yang lebih asyik dengan ponsel dan mp3nya. Mereka hanya sekali tersenyum kepadaku, dan kembali menekuri genggamannya.
Aku lebih memilih menggunakan kereta kelas ekonomi dibandingkan dengan kelas di atasnya. Bukan karena aku tidak mampu untuk membeli tiketnya, tetapi karena dengan kereta ini aku lebih merasakan makna dari kehidupan ini. Aku bisa merasakan kehidupan kaum menengah ke bawah yang selalu penuh dengan rona warna. Melihat semangat mereka, rasa syukur dalam menjalani hidup yang indah ini. Seperti kegigihan mbok penjual nasi yang aku temui di stasiun pagi tadi. Melihat semangatnya, keikhlasannya dalam mengarungi aral dan rintangan hidup. Terkadang ada rasa iri yang muncul dalam relung hati, karena mereka tetap selalu tersenyum. Entah itu bahagia atau derita. Entah…..
Aku menikmati perjalanan ini tanpa mengeluh sedikitpun. Aku malu dengan mereka yang lebih sering merasakan kegetiran hidup di banding denganku sekarang. Aku juga menggunakan kereta kelas ekonomi ini agar aku tidak lupa akan diriku sebelumnya. Aku yang dulu sama dengan mereka, menjalani kehidupan dengan kerja keras menguatkan hati. Menjalani kehidupan dari dasar, dari kehidupan yang penuh dengan kesusahan. Melangkah berdampingan dengan istriku yang setia menemani hingga sekarang. Tidak akan pernah terlupa saat itu, 5 tahun silam.